korupsi

Ketika Penegak Hukum Korupsi

Posted on Updated on

Hukum terkesan tebang pilih, bukan sekedar ungkapan klise. Itulah realitas hukum di Indonesia. Desas-desus penegak hukum bisa dibeli seolah menemukan pembenaran ketika Akil Mochtar ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap tangan oleh KPK beberapa waktu lalu.

Mengapa begitu mudah para pejabat publik dan penegak hukum melakukan korupsi di Indonesia? Salah satu sebabnya adalah definisi korupsi yang masih memberikan celah dimana orang bisa memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Untuk itu perlu formulasi ulang tentang apa itu korupsi.

Abdul Hakim Siagian, pengacara, mengungkapkan,” Dari perspektif filosofinya bahwa bangsa ini perlu belajar bagaimana merumuskan atau luasan apa yang disebut dengan korupsi , dan setelah itu terumuskan dalam norma hukum, kemudian dibentuk dengan baik strukturnya, setelah itu baru kemudian disosialisasikan untuk mendapatkan back up sehingga menjadi kultur masyarakat.”

Hal ini penting karena  masih terjadi kerancuan dalam terminologi korupsi, contohnya adalah gratifikasi, hadiah, atau suap yang menurut masyarakat dan pejabat seringkali tidak dianggap sebagai bentuk korupsi, sehingga mereka berlomba-lomba melakukannya.

Paling penting adalah upaya pencegahan, “Bagaimana memaksimalkan preemtif dan preventif  dicegah pada tingkat gejala, dan dicegah pada saat hal-hal itu belum mulai terwujud menjadi perilaku, dengan demikian tidak seperti sengaja menunggu,  dijebak,direkam, dsb, baru kemudian ditangkap, dipublish dengan tuduhan korupsi. Bila ini yang terjadi maka seluruh komponen pimpinan bangsa ini akan rusak,”jelas Siagian.

Sementara Maratua Simanjuntak, tokoh agama dan ketua Forum Komunikasi Umat Beragama Sumatera Utara menyatakan bahwa korupsi berlangsung dalam jangka waktu lama di Indonesia ini karena terjadi pembiaran oleh negara.

Sementara hukuman bagi koruptor saat ini tidak memberikan efek jera. Justru semakin merugikan negara karena negara mesti membiayai kehidupan koruptor selama dipenjara tanpa para koruptor ini dibebani dengan tugas tertentu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Apakah koruptor di Indonesia perlu dihukum mati? Siagian menuturkan bila terbukti bersalah, berikan saja hukuman maksimal bagi para koruptor, bila perlu bersikap kejam bisa dengan ancaman hukuman mati. Perlu diingat bahwa pada umumnya orang yang korupsi adalah orang dengan kualitas SDM yang baik. Maka alternatif hukuman bagi para koruptor ini adalah dengan melakukan kerja sosial sesuai dengan keahlian atau kemampuannya, misalnya jika ia dosen maka harus mengajar sampai ia mati, dan terus diawasi oleh negara.

Nababan, salah seorang anggota masyarakat, mengusulkan untuk memberikan hukuman pengucilan pada seluruh anggota keluarga koruptor. Maratua menanggapi bahwa hal itu tidak perlu dilakukan karena dengan sendirinya masyarakat sudah mengucilkan keluarga koruptor. Bahkan keluarga  justru lebih malu dibandingkan koruptor itu sendiri. Koruptor menghabiskan waktu di penjara, sementara keluarga itu tetap hidup menjadi anggota masyarakat.

Ada satu hal penting yang hilang dari pendidikan di negara ini dan membawa efek bagi permasalahan hukum, “Pelajaran di sekolah tentang adab, etika, sopan santun sekarang tidak ada, menjadi tanggung jawab siapa? Padahal hukum harus dibangun diatas moral dan etika. tanpa moral hukum tidak akan bisa ditegakkan,” jelas Siagian.

Ia juga menekankan pada lunturnya nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yang membawa dampak buruk bagi RI. Landasan ideology Pancasila yang final bagi RI harus menjadi pelajaran wajib bagi semua segmen sehingga menumbuhkan nasionalisme. Bagi hukum hal ini sangat penting karena Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Lebih dari itu Pancasila yang menjadi penentu bagaimana seseorang bisa dipromosikan ke jabatan-jabatan strategis.

Sementara itu Prof. Darmayanti Lubis, menyatakan bahwa maraknya kasus penegak hukum yang terlibat korupsi dan puncaknya kasus tertangkapnya ketua MK Akil Mochtar menjadi titik balik bagi kita melakukan refleksi diri kembali atas cita-cita reformasi tahun 1998 lalu, yaitu pemberantasan KKN. Sementara tudingan bagi perempuan sebagai istri  yang seringkali dianggap sebagai pemicu suami melakukan korupsi,  Darmayanti menyatakan bahwa hal ini tidak ada hubungannya, karena korupsi terkait dengan masalah moral. Jika seorang penegak hukum memiliki  kekuatan moral yang baik tentu tidak akan mudah terbujuk rayuan istri. Perempuan yang ada dalam posisi sebagai penegak hukum pun juga mesti bersikap cerdas agar tak mudah terjebak dalam kasus korupsi.

kontak publik 7 oktober 2013